ADIPURA: REALITA SEBUAH PENGHARGAAN
Penghargaan dan Kecemasan
Kota
yang pada tahun 2013 lalu mendapat Piala Adipura kategori Kota Metropolitan,
kini kembali menerima penghargaan untuk kedua kalinya pada awal tahun 2013.
Penghargaan yang di dapat tersebut tidak semata-mata dalam bentuk simbol atau
piala saja, namun bagaimana Adipura dapat dijadikan sebagai motivasi untuk terus
membudayakan perilaku bersih setiap harinya.
Namun,
agaknya hal tersebut membuat Kota Medan tidak dapat tidur dengan tenang.
Kecemasan itu dikarnakan metropolitan
yang kini disandang Kota Medan dengan jumlah penduduk yang sangat besar, dapat
membawa suatu masalah lain. Masalah yang sampai saat ini masih menjadi
perbincangan yang hangat. Tidak lain dan tidak bukan yaitu masalah lingkungan - limbah makanan. Kecemasan tersebut akan
terwujud apabila masyaraktnya tidak dapat bekerjasama dengan baik untuk
mengelola limbah makanan dari tiap rumah mereka dengan baik. Inilah salah satu
masalah yang melanda kota Medan, yang sampai saat ini belum dapat terselesaikan
secara maksimal.
Dikutip pada harian Medan
Bisnis - 12 Juni 2013, Badan Lingkungan Hidup (BLH) memperoleh informasi bahwa
persentase limbah padat pada komponen makanan di tempat pembuangan akhir di
Namo Bintang Kota Medan mencapai 33,31% dan Langkat mencapai 52,56%.
"Limbah
makanan ini tidak hanya berdampak secara finansial, namun juga berdampak buruk
bagi lingkungan. Semakin banyak limbah, berarti semakin besar pemborosan"
jelas Gubsu Gatot Pujo Nugroho dalam pidato tertulisnya yang dibacakan Kepala
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut Dr Ir Hidayati Msi.
Menggandeng Rekan dari Negara Lain
Masalah
limbah makanan ini adalah masalah yang tampaknya kecil akan tetapi dampak yang
ditimbulkan cukup besar. Serupa ketika kita sedang menyapu halaman, ketika
selesai menyapu, mengumpulkan sampah maka fase terakhir adalah membuangya ke
tempat sampah dan kalau ada waktu langung membakarnya, kalau sedang malas ya
buang saja sampah tersebut ke selekon. Lalu ketika hujan lebat datang, air pun
menggenangi halaman rumah kita. Lantas siapakah yang salah?
Seperti
itulah analogi sederhananya, yang akhirnya membawa kita harus bekerjasama
dengan Kota Kitakyushu, Jepang untuk sekadar menangai masalah sampah tersebut.
Ini agaknya menjadi hal yang cukup miris.
Medan yang baru mendapatkan penghargaan Adipura dan juga Kalpataru, kini
harus menghisap jempol dengan mengandeng negara lain untuk membantu kita
menangani masalah ini. Hal tersebut di sampaikan Wali Kota Medan, Rahudman
Harahap, di Medan, Selasa (12/2), pada acara diskusi terkait prospek dari kerjasama
yang akan dilakukan kedua kota tersebut
"Kota
Medan akan menjalin kerjasama dengan dengan Kota Kitakyushu, Jepang, dalam
rangka penanganan sampah di daerah ini," (www.beritasatu.com/red)
Lalu,
apakah tersebut akan berhasil? Kita lihat saja nanti.
Deli Serdang dan Perubahannya
Salah satu tempat
yang juga perlu dilirik adalah di
Kabupaten Deli Serdang (DS) yang merupakan salah satu kawasan di Sumatera
Utara yang begitu strategis. Secara geografis terletak diantara 2 0 57′-3
0 16′LU dan 97 0 52′-98 0 45′BT secara administratif terdiri dari 22 Kecamatan,
2 perwakilan Kecamatan dengan 379 Desa dan 15 kelurahan. Luas wilayah yaitu
2.394,62 Km 2 atau 2.394,462 Ha, dengan jumlah penduduk 1.463.031 jiwa. Dihuni
oleh berbagai etnis di Sumatera Utara mulai dari suku Melayu, Jawa, Batak Toba,
Karo, dan lain-lain. Jika Medan sebagai kota metropolitan sudah stagnan
ditinjau dari lahan kosong yang masih bisa dikembangkan. Tidak demikian dengan
wilayah Deli Serdang. Tanah untuk pembangunan baik berupa tanah produktif
maupun tidak produktif masih sangat luas.Terbentang dari Utara, Timur,Barat dan Selatan. Namun,
kita dapat lihat di salah watu wilayah kebupaten tersebut – Percut Sei Tuan.
Saat
ini pembangunan gedung-gedung bertingkat semakin banyak. Termasuk juga
rumah-rumah mewah, ladang-ladang yang masih hijau berkurang tiap hari.
Tanah-tanah gambut di daerah Percut berubah. Bahkan di daerah persawahan di
Pakam juga sudah mulai dilirik sebagai tempat bisnis dan perumahan dengan
telah berdirinya Bandar Kuala Namu Internasional. Akan tetapi untuk proses
revitalasisi yang ada masih sangat kurang. Jalan-jalan masih tampak gersang,
dengan minimnya pepohanan yang ada diajalanan. Belum lagi masalah sampah-sampah
yang dapat kita temui dengan jarak yang tidak cukup jauh dari satu titik ke
titik lain.
Awan
yang tampak cerah pagi itu membawa kaki saya
untuk sekadar berkeliling. Di salah satu sudut, di dekat Desa Laut Dendang.
Saya bertemu dengan salah seorang yang tengah asyik memilih dan memilah
sampah-sampah yang berserakan bagai lautan tanpa keindahan. Anto namanya,
seorang lelaki berusia 30 tahun yang sehari-hari menjadi pengutip sampah-sampah
plastik.
“ini adalah santapan saya setiap hari bg,
memang harus seperti inilah. Mau gimana lagi. Mungkin ini masalah buat abg,
tapi dari sinilah kami bisa bertahan hidup” ujarnya dengan sambil memasukkan
plastik-plastik pilihannya.
Ya,
seakan telah menjadi kewajiban tak tertulis Anto, dan beberapa orang yang
mempunyai profesi serupa berkumpul setiap hari untuk mengobrak-abrik tumpukan
sampah tersebut. Memang bagai sebuah mata uang ada gambar dan angka. Begitu
pula dengan masalah yang kita hadapi ini, adal pihak yang pro dan kontra. Akan tetapi, memang inilah
realita yang harus kita lihat.
Tidak sedikit orang yang
membentuk kelompok atau perkumpulan dengan bertujuan untuk melakukan penghijuan
dan pelestarian terhadap lingkungan dan melakukan inovasi baru serta gerakan
pembaruan dalam menjaga alam. Akan tetapi agaknya hal tersebut akan sia-sia
tanpa ada kerjasama dan partisipasi dari badan-badan lingkungan hidup milik
pemerintah, masyarakat dan juga individu kita sendiri.
Kita tidak mungkin
menghentikan pembangunan untuk suatu
kemajuan. Akan tetapi kiranya unsur-unsur kelestarian lingkungan harus menjadi
bagian yang tidak dapat di nego.
Harus perlu menggalakkan kegiatan yang bervisikan penghijauan. Peran serta pemerintah
yang harus keras dan tegas dalam memberikan punisment
kepada para perusak dan pencemar lingkungan, baik yang dilakukan oleh
perseorangan ataupun perusahaan yang tidak memiliki sejenis Unit Pengelolaan
Limbah, pengembang yang tidak memiliki visi go green dalam dalam
operasionalnya.
Akhirnya,
marilah kita bersama-sama menambah misi dalam diri kita untuk tetap selalu
menjaga dan melestarikan bumi tercinta ini. Bebas dari sampah serta menjadikan
kota tempat tinggal kita berkualitas secara ekonomi, kesehatan dan lingkungan.
0 komentar:
Posting Komentar